Selasa, 06 Maret 2007

Catatan atas kasus pajak Makindo

[Info Pajak] - Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp494 miliar bisa menjadi contoh menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Kasus seperti ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya.

Yang membedakan hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat besar, ada yang relatif kecil. Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui.

Ini yang menimpa Makindo. Surat ketetapan pajak (SKP) terbit pada 30 Oktober 2006. Jika SKP ini tidak terbit, maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan Makindo menjadi pasti pada akhir Desember 2006. Namun Dewi Fortuna tampaknya tak bersama Gunawan Yusuf, presdir Makindo.

Lima catatan

Kembali ke kasus Makindo. Berdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada PT Bursa Efek Surabaya maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan.

Pertama, soal kedaluwarsa. Dalam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah berselang 10 tahun lebih.

Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR, batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan mulai 1 Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1 Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa kedaluwarsanya 10 tahun.

Untuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana bunyi pasal dalam UU perpajakan. Pasal 13 angka (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan: Besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan (SPT) menjadi pasti...., apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.

Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo pembayaran adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari 1996]. Jika ditarik ke 10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember 2006.

Artinya, penetapan SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi masih dalam jangka waktu 10 tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah.

Kedua, Makindo menyatakan SKP tersebut bukan keputusan final, tapi masih dalam proses. Penjelasan ini benar adanya. WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak SKP diterbitkan. Ditjen Pajak sendiri harus memberi keputusan atas keberatan itu paling lambat 12 bulan.

Ditjen Pajak kabarnya akan mempercepat proses keberatan tersebut. Pekan lalu Dirjen Pajak Darmin Nasution dan jajarannya sibuk membahas permohonan keberatan Makindo ini. Kita lihat nanti, bagaimana keputusan Dirjen Pajak atas keberatan Makindo.

Dalam banyak kasus, Ditjen Pajak cenderung mempertahankan SKP yang dibuat oleh anak buahnya. Ada spirit kesatuan yang tidak bisa luntur begitu saja. Jadi meski ada koreksi, baik atas pokok utang pajak maupun sanksinya, biasanya tidak terlalu signifkan.

Jika Makindo bisa meyakinkan kantor pajak bahwa penetapan pajak tersebut salah, tentu tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan koreksi atas utang dan sanksi tersebut.

Misalnya, Makindo harus bisa menunjukkan bukti-bukti yang memadai bahwa sejumlah private placement-yang oleh kantor pajak diklaim sebagai pendapatan Makindo-adalah salah.

Tapi jika bukti-bukti tidak cukup, bisa jadi Makindo hanya bisa menikmati pengurangan yang tidak terlalu besar.

Berarti Makindo harus siap tempur di Pengadilan Pajak. WP memang didorong untuk maju ke Pengadilan Pajak dan jika perlu ke Mahkamah Agung untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

Bahkan ada satu Dirjen Pajak di masa lalu yang selalu menolak keberatan yang diajukan WP karena merasa conflict of interest.

Kala itu, kebijakan seperti ini, tidak masalah karena banding ke Majelis Pertimbangan Pajak (cikal bakal Peradilan Pajak) tidak ada kewajiban membayar sebagian atau seluruh utang pajak. Sehingga WP juga tidak masalah mengajukan banding, apalagi di MPP ada perwakilan Kadin yang biasanya menjadi pelindung dunia usaha.

Surat paksa

Kembali ke masalah SKP Makindo. Meski SKP ini sifatnya belum final, manajemen Makindo perlu memerhatikan surat paksa yang diterbitkan kantor pajak. Surat paksa adalah sarana bagi petugas pajak untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus.

Yang istimewa dari surat paksa adalah kedudukannya yang setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Setara putusan kasasi Mahkamah Agung.

Ketiga, soal tax clearance atau surat keterangan fiskal (SKF). Selembar surat ini dulu menjadi salah satu syarat bagi perusahaan yang akan masuk bursa.

Kini kewajiban memperoleh SKF sudah dicabut oleh Darmin Nasution, setelah mantan ketua Bapepam itu duduk sebagai Dirjen Pajak.

Namun SKF bukan surat ketetapan pajak. Selembar kertas yang dikeluarkan oleh kantor pajak ini hanya menyebutkan bahwa perusahaan dalam status tidak punya utang pajak (berdasarkan SKP atau surat tagihan pajak) dan tidak dalam proses penyidikan karena dugaan tindak pidana pajak.

SKF sama sekali tidak mempunyai nilai hukum apa-apa di mata undang-undang pajak maupun undang-undang pasar modal.

Dengan demikian, apakah penerbitan SKF tidak menghilangkan hak fiskus untuk memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan menetapkan pajak terutang beserta denda dan sanksinya.

Keempat, kepentingan umum dan kepentingan negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, utang pajak mempunyai hak mendahului dibandingkan utang lainnya.

Pasal 21 UU KUP menyatakan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak, yang mencakup pokok pajak, sanksi administrasi, denda, kenaikan dan biaya penagihan. Hak mendahulu ini hilang setelah melampaui dua tahun.

Dengan demikian siapapun di negara ini-apalagi aparat negara-seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan kepentingan negara.

Namun bila melihat pernyataan pejabat Bapepam-LK menyangkut kasus tagihan pajak Makindo ini, rasanya hak mendahului atas tagihan pajak kurang dipahami.

Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany kepada Bisnis menyatakan rencana go private Makindo tidak berarti perusahaan terlepas dari kewajiban pajaknya dan itu bukan kompetensi lembaga itu untuk membicarakan apakah mereka masih punya tunggakan pajak atau tidak.

Bapepam-LK, menurut dia, tidak bisa menggunakan alasan itu [tunggakan pajak] untuk menolak go private Makindo.

Lembaga ini tetap menyetujui rencana Makindo go private karena dinilai telah memenuhi persyaratan administratif dan menaati prosedur keluar dari bursa.

Pernyataan seperti ini jelas mengundang tanda tanya. Apalagi Bapepam-LK dan Ditjen Pajak yang sama-sama dalam asuhan Departemen Keuangan.

Bila ditarik ke belakang, misalnya dalam kasus Energi Mega Persada, Fuad melarang rencana spin off Lapindo Brantas dengan alasan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas atas melindungi kepentingan publik.

Jika kepentingan publik saja harus dilindungi, bagaimana soal utang pajak Makindo-yang di dalamnya ada hak negara-dijawab "bukan kompetensi kami untuk membicarakannya." Apakah kepentingan negara di bawah kepentingan publik?

Terakhir, soal NPWP Gunawan Yusuf. Gunawan disidik aparat pajak berdasarkan surat perintah penyidikan No. Prin-02-Dik/PJ.701/2003 tanggal 6 Maret 2003. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim oleh Direktur P4 Ditjen Pajak kepada Jaksa Agung melalui Kabid Korwas PPNS Bareskrim, Polri pada 7 Maret 2003.

Sebelumnya sumber Bisnis di Ditjen Pajak menyebutkan penyidikan terhadap Gunawan dihentikan karena dia sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Namun, keterangan tersebut dibantah seorang pejabat senior di Ditjen Pajak. Dia menyatakan penyidikan tersebut tidak mungkin dihentikan kecuali ada permintaan dari Menteri Keuangan seperti diatur dalam Pasal 44B UU KUP.

Penyidikan, kata dia, tidak menghasilkan surat ketetapan pajak, melainkan berkas penuntutan perkara jika oleh kejaksaan atau kepolisian dianggap sudah lengkap (P21).

"Bisa jadi penyidikan tersebut berjalan lambat, tapi bukan berarti dihentikan. NPWP atas nama Gunawan Yusuf terbit setelah penyidikan berjalan. Artinya, Ditjen Pajak bisa menggunakan pasal pidana perpajakan seperti diatur Pasal 39 UU KUP," kata sumber ini.

Ditjen Pajak kabarnya menetapkan nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp6 miliar.

Namun, angka ini belum pasti karena para penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) masih terus mengumpulkan bukti-bukti.