Senin, 16 April 2007

Konglomerat Hitam Kuasai Istana

[Website MPR] - Sejumlah tokoh secara terbuka mengkritik sikap istana dalam memberantas korupsi. Presiden SBY dinilai masih bersifat tebang pilih karena hanya berani menjangkau praktik korupsi kelas teri. Sementara karpet merah digelar lebar-lebar bagi konglomerat hitam untuk leluasa masuk Istana Negara.

Kritik itu diungkapkan aliansi masyarakat antikorupsi yang dimotori Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan ekonom Faisal Basri. Kedua tokoh itu kemarin memberi seruan di Hotel Sultan Jakarta. “Kekuasaan konglomerat hitam itu telah melampaui otoritas lembaga demokrasi,” ujar Faisal. Partai politik dan aparat penegak hukum, katanya, telah mampu didikte dan dikendalikan oleh mereka. “Politisi (baik di legislatif maupun eksekutif, Red) telah menjadi boneka, dan mereka yang memainkan,” tambah Sekjen PAN itu. Saat itu hadir intelektual Frans Magniz Suseno, Direktur YLBHI Patra Zen, dan Ismed Hasan Putro (LSM).

Sejumlah tokoh juga memberikan tanda tangan. Mereka, antara lain, Syafii Ma’arif (mantan ketua PP Muhammadiyah), Hasyim Muzadi (ketum PB NU), Ichlasul Amal (ketua Dewan Pers), Hotman Siahaan (Unair), Denny Indrayana (UGM), dan Fikar Eda. Menurut Faisal, kekuatan konglomerat hitam kini telah menguasai pemerintah. Dia mencontohkan kasus korupsi Anthony Salim yang merugikan negara hingga ratusan triliun itu sebagai bentuk ketidakberdayaan pemerintah. Padahal, ujarnya, kalau dana korupsi Anthony Salim dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp 125 triliun bisa dikembalikan, itu bisa menutup defisit APBN 2006 yang menyentuh Rp 60 triliun. “Banyak ketidakadilan hukum terjadi,” katanya.

Ekonom UI itu juga melihat kekuatan konglomerat hitam telah mengendalikan istana. “Bahkan, kekuatan mereka telah menentukan masa depan kita dengan merumuskan Visi 2030 yang tidak rasional itu,” katanya. Mana mungkin pendapatan per kapita yang sekarang USD 1.600 disulap menjadi USD 18.000 pada 2030. “Nggak ada sejarahnya perubahan secepat itu,” tambahnya. Dia berharap penegakan korupsi dilakukan secara konsisten, dengan memisahkan aparat pemberantasan korupsi dari lingkaran kekuasaan. “KPK harus pisah dari istana, karena istana juga bagian dari target pemberantasan korupsi,” katanya.

Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengatakan, asas ketidakadilan hukum memang tengah berjalan di negeri ini. “Kalau koruptor miliaran saja ditindak, seharusnya koruptor triliunan rupiah juga ditindak tegas,” ujarnya kemarin. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk tegas bersikap terhadap kekeliruan itu. “Kalau pemerintah berani, tentu masyarakat akan lebih berterima kasih,” jelasnya. Pakar filsafat Prof Franz Magnis Suseno mengaku prihatin dengan mengguritanya penyakit korupsi bangsa ini. “Korupsi merupakan tangga kematian bagi solidaritas sosial, yang juga mematikan asas keadilan sosial,” katanya. Romo Magnis, sapaan akrabnya, mendesak pemerintah untuk tidak kongkalikong dengan para koruptor, baik kelas teri maupun kakap, untuk menghadirkan kepastian hukum yang selama ini terenggut.

Rabu, 04 April 2007

Konglomerat Hitam Kuasai Istana

[Indopos] - Sejumlah tokoh secara terbuka mengkritik sikap istana dalam memberantas korupsi. Presiden SBY dinilai masih bersifat tebang pilih karena hanya berani menjangkau praktik korupsi kelas teri. Sementara karpet merah digelar lebar-lebar bagi konglomerat hitam untuk leluasa masuk Istana Negara.

Kritik itu diungkapkan aliansi masyarakat antikorupsi yang dimotori Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan ekonom Faisal Basri. Kedua tokoh itu kemarin memberi seruan di Hotel Sultan Jakarta. “Kekuasaan konglomerat hitam itu telah melampaui otoritas lembaga demokrasi,” ujar Faisal. Partai politik dan aparat penegak hukum, katanya, telah mampu didikte dan dikendalikan oleh mereka. “Politisi (baik di legislatif maupun eksekutif, Red) telah menjadi boneka, dan mereka yang memainkan,” tambah Sekjen PAN itu.


Saat itu hadir intelektual Frans Magniz Suseno, Direktur YLBHI Patra Zen, dan Ismed Hasan Putro (LSM). Sejumlah tokoh juga memberikan tanda tangan. Mereka, antara lain, Syafii Ma’arif (mantan ketua PP Muhammadiyah), Hasyim Muzadi (ketum PB NU), Ichlasul Amal (ketua Dewan Pers), Hotman Siahaan (Unair), Denny Indrayana (UGM), dan Fikar Eda. Menurut Faisal, kekuatan konglomerat hitam kini telah menguasai pemerintah. Dia mencontohkan kasus korupsi Anthony Salim yang merugikan negara hingga ratusan triliun itu sebagai bentuk ketidakberdayaan pemerintah. Padahal, ujarnya, kalau dana korupsi Anthony Salim dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp 125 triliun bisa dikembalikan, itu bisa menutup defisit APBN 2006 yang menyentuh Rp 60 triliun. “Banyak ketidakadilan hukum terjadi,” katanya.

Ekonom UI itu juga melihat kekuatan konglomerat hitam telah mengendalikan istana. “Bahkan, kekuatan mereka telah menentukan masa depan kita dengan merumuskan Visi 2030 yang tidak rasional itu,” katanya. Mana mungkin pendapatan per kapita yang sekarang USD 1.600 disulap menjadi USD 18.000 pada 2030. “Nggak ada sejarahnya perubahan secepat itu,” tambahnya. Dia berharap penegakan korupsi dilakukan secara konsisten, dengan memisahkan aparat pemberantasan korupsi dari lingkaran kekuasaan.

“KPK harus pisah dari istana, karena istana juga bagian dari target pemberantasan korupsi,” katanya. Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengatakan, asas ketidakadilan hukum memang tengah berjalan di negeri ini. “Kalau koruptor miliaran saja ditindak, seharusnya koruptor triliunan rupiah juga ditindak tegas,” ujarnya kemarin. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk tegas bersikap terhadap kekeliruan itu. “Kalau pemerintah berani, tentu masyarakat akan lebih berterima kasih,” jelasnya. Pakar filsafat Prof Franz Magnis Suseno mengaku prihatin dengan mengguritanya penyakit korupsi bangsa ini. “Korupsi merupakan tangga kematian bagi solidaritas sosial, yang juga mematikan asas keadilan sosial,” katanya. Romo Magnis, sapaan akrabnya, mendesak pemerintah untuk tidak kongkalikong dengan para koruptor, baik kelas teri maupun kakap, untuk menghadirkan kepastian hukum yang selama ini terenggut.