Selasa, 22 Januari 2008

Konglomerat Jangan Takut Dipanggil Aparat Pajak

[CMN News] - Tidak banyak yang tahu bahwa penyidik Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak ternyata sudah memanggil konglomerat Sukanto Tanoto (pemilik PT Asian Agri Group) pada Selasa, 15 Januari 2007. Aparat pajak perlu memeriksa Sukanto sebagai saksi atas dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,35 triliun di Asian Agri Group. Sayang, konglomerat terkaya nomor dua versi Majalah Forbes ini tidak memenuhi panggilan pertama.

Namun demikian, Ditjen Pajak menyatakan akan melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya. Begitulah, media massa bisnis menulis soal Sukanto Tanoto. Lalu, mengapa Sukanto Tanoto tidak hadir memenuhi undangan tersebut ? media massa tidak merinci alasannya. Namun dalam pandangan kami, sebaiknya Sukanto Tanoto tidak takut untuk hadir di Kantor Ditjen Pajak, apalagi, jika Sukanto tidak melakukan kesalahan.

Ketidakhadiran Sukanto justeru akan semakin menimbulkan syak wasangka jangan-jangan dugaan penggelapan pajak – seperti yang dipublikasikan media massa – benar adanya. Kami sependapat dengan perspektif Ditjen Pajak bahwa pemeriksaan terhadap Sukanto Tanoto merupakan upaya yang sangat penting untuk menggenapi upaya Ditjen Pajak membongkar kasus dugaan penggelapan pajak. Apalagi instansi penting di bawah Departemen Keuangan ini sudah menetapkan 11 tersangka, yaitu ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, SL, DSO, BGS, dan LR.

Oleh sebab itu, jika Sukanto Tanoto bisa secara gentlement hadir memenuhi undangan tersebut, tentunya bisa menjadi contoh yang baik bagi konglomerat lainnya. Kami juga menyerukan agar para penasehat hukum maupun jajaran public relations untuk memberikan masukan-masukan yang baik bagi pemilik kelompok usaha Raja Garuda Mas (RGM) ini sehingga apa yang dilakukan oleh Sukanto bisa menjadi sebuah citra atau image yang baik, bukan malah sebaliknya.

PAN Tak Setuju Istilah Konglomerat Hitam Dimusnahkan

[Okezone Dotcom] - Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo merasa keberatan jika istilah konglomerat hitam dihilangkan. Sebab bisa menimbulkan anggapan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah berkolaborasi dengan konglomerat hitam.

"Itu jangan sampai terjadi. Menghilangkan kalimat konglomerat hitam bukan saja mengurangi substansi, tapi mengurangi greget dari interpelasi BLBI," ujar Anggota DPR Komisi XI dari Fraksi PAN, Drajad Wibowo saat ditemui di DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Selasa (22/1/2008).

Konglomerat hitam merupakan istilah yang diberikan bagi para koruptor-koruptor dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini pelakunya banyak lari ke Singapura. Oleh karenanya, dalam rencana interpelasi yang akan digelar DPR, akan banyak pertanyaan seputar kasus itu.

"Sekarang ini masih dalam tahap pembahasan latar belakang, mungkin nanti akan lebih detail pada pembahasan pertanyaan," ujarnya menjelaskan perkembangan pembahasan interpelasi yang akan digelar pukul 15.00 WIB, Selasa ini.

Drajad tetap berprinsip bahwa pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam interpelasi akan fokus soal bagaimana penyelesaian BLBI. "Pertanyaan juga termasuk serangkaian langkah penyelamatan sektor perbankan. Dan bagaimana pemerintah menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelesaian ini," jelas Drajad.

Kamis, 17 Januari 2008

Ribuan Warga Tuntut Sinar Mas Group Kembalikan Lahan

[Tempo Interaktif] - Sedikitnya seribu massa yang tergabung dalam Sentral Gerakan Rakyat Riau (Segera) melakukan unjuk rasa di Pekanbaru, Kamis (17/1). Massa memblokir pintu gerbang kantor Gubernur Riau di Jalan Sudirman, Pekanbaru, untuk menuntut pengembalian lahan masyarakat seluas 60 ribu hektar yang diserobot PT Arara Abadi, anak perusahaan Sinar Mas Group.

Sejak pukul 10.30 WIB, massa yang berasal dari Kabupaten Bengkalis, Siak dan Kabupaten Kampar itu langsung menuju pintu gerbang utama Kantor Gubernur Riau. Mereka menenteng berbagai spanduk diantaranya bertuliskan "Kembalikan lahan rakyat", "Gubernur Riau Rusli Zainal Agen Lahan", "Pemerintah Jadi Calo Lahan Untuk Kongklomerat.

Setelah sempat saling dorong dengan polisi dan pamong Praja karena massa ingin memasuki kantor gubernur, akhirnya massa hanya berdemo didepan pintu gerbang Utama. "Kami sudah muak dengan janji janji Pemerintah yang akan melakukan pengukuran ulang dan mengembalikan lahan yang diserobot. Kami minta agar Sinar Mas Group mengembalikan lahan warga, "ujar Koordinator Lapangan Aksi, Riza Zulhelmi, Kamis (17/1)

Menurut Riza, yang juga Sekretaris Umum Segera ini, tuntutan masyarakat sudah berlangsung sejak lima tahun lalu. Waktu itu PT Arara Abadi, dengan dalih izin yang dimilikinya menyerobot lahan warga. Lahan itu, masing masing 22.000 hektar di Kabupaten Siak, 20.200 hektar di Kabupaten Bengkalis dan 12.500 hektar di Kabupaten Kampar. Lahan yang sudah ditanami sawit oleh penduduk, kata Riza, diambil paksa dan diganti dengan akasia untuk HTI. "Dulu semua takut, tapi sekarang sudah habis kesabaran kami, "kata Riza Zulhelmy.

Menanggapi aksi demo itu, Humas PT Indah Kiat Pulp Paper, Nazaruddin tidak bersedia berkomentar banyak. Menurutnya, perusahaannya legal, memiliki perizinan sesuai ketentuan perundangan. " Mana mungkin perusahaan mendirikan usahanya di atas lahan orang lain. Kami memiliki izin sebagaimana yang diatur undang undang, "ujar Nazaruddin.

Senin, 14 Januari 2008

Menanti Transparansi Ekstradisi

[Sumatera Ekspress] - Singapura selama ini menjadi surga para koruptor kita. Negeri yang hanya ’sepelemparan batu’ dari Batam itu menjadi daerah penampungan bagi orang-orang yang telah menjarah kekayaan negeri ini.

Sudah tak terhitung jumlah koruptor yang merampok uang rakyat menyeberang ke negeri tetangga itu. Mereka di sana hidup senang, menghabiskan uang milik negara yang dibawa lari. Konglomerat hitam yang diperkirakan berada di Singapura misalnya Sudjono Timan, terdakwa kasus korupsi BPUI US$ 126 juta. Juga Bambang Sutrisno yang mengemplang dana BLBI senilai Rp 1,9 triliun. Atau Maria Pauline Lumowa yang membobol BNI senilai Rp 1,3 triliun.

Kami yakin aparat dan intelijen Indonesia mengetahui banyak tentang kiprah mereka di Negeri Singa itu. Tapi, polisi Indonesia hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat banyak. Kita tak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara tersebut. Karena itu, andai pun mereka diperkarakan, tentu kita tak bisa membawa mereka ke tanah air.

Tak ada perjanjian ekstradisi itulah yang membuat mereka menikmati kebebasannya di Singapura. Dengan uang yang mereka bawa dari Indonesia, sebagian koruptor itu bahkan melakukan investasi. Agus Anwar, misalnya, buron BLBI senilai Rp 1,9 triliun, saat ini disebut berinvestasi di perusahaan pertambangan.

Menurut lembaga survei Merrill Lynch Capgemini, sepertiga orang superkaya di Singapura adalah orang Indonesia. Total dana orang Indonesia yang diparkir di sana mencapai Rp 783 triliun, melebihi APBN. Tentu dana yang diparkir itu sebagian milik para buron yang menjarah uang rakyat.

Karena itu, perjanjian ekstradisi RI-Singapura yang akan diteken pekan ini harus dilihat sebagai pintu, paling tidak celah untuk menangkap para koruptor. Perjanjian hukum tersebut harus kita sambut sebagai lembaran baru hubungan bilateral negara bertetangga ini. Hanya yang menjadi persoalan, perjanjian ekstradisi yang akan diteken besok itu belum disosialisasikan kepada publik. Artinya, belum melibatkan suara publik untuk menilai apakah perjanjian itu benar-benar menguntungkan Indonesia. Jangan-jangan Singapura bersedia meneken perjanjian tersebut dengan mendapat kompensasi di tempat lain yang lebih besar.

Kecurigaan seperti itu wajar-wajar saja, karena kepentingan Singapura begitu besar di Indonesia. Yang paling di depan mata, Singapura sangat membutuhkan pasir dan granit dari Indonesia. Yang juga harus diingat, karena menjadi persembunyian para konglomerat hitam itu, Singapura sangat diuntungkan. Triliunan rupiah mengalir ke sana. Tentu Singapura berhitung sangat matang bila bersedia melakukan perjanjian ekstradisi. Bahkan, sejumlah anggota DPR meminta pemerintah tidak buru-buru agar masalah itu dibahas lebih detail.
Nah, sekarang yang kita tuntut adalah pemerintah Indonesia harus bersikap transparan dengan memperlihatkan untung rugi dari ekstradisi itu. Jangan-jangan kita untung di sini, jebol di sana. Rakyat pun harus tahu tentang itu. (*)

Kamis, 10 Januari 2008

Grup Bakrie Sisihkan Rp 125 Miliar untuk CSR

[Tempo Interaktif] - Kelompok Usaha Bakrie atau Bakrie Group menyediakan dana sebesar Rp 125 miliar untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dana tersebut merupakan penyisihan laba selama tahun 2007.

Wakil Direktur Bidang Corporate Social Responsibility, Suwandi, mengatakan dana Rp 125 miliar setara dengan 1,5 persen laba perusahaan milik keluarga Bakrie tersebut.

"Dana itu dipergunakan untuk membantu proses rehabilitasi sejumlah gedung sekolah serta fasilitas umum atau rumah para korban bencana alam di seluruh Indonesia," katanya saat menyerahkan bantuan kemanusiaan bagi korban banjir di Solo, Kamis (10/1)

Pemberian bantuan tersebut, kata Suwandi, akan dilakukan setelah inventarisasi kerusakan fasilitas umum yang terjadi di berbagai daerah sudah selesai dilakukan oleh pemerintah. Menurut Suwandi, hal itu dilakukan agar pemberian bantuan tidak tumpang tindih dengan bantuan yang dianggarkan pemerintah. "Asal ada data kebutuhan jelas akan dibantu," katanya.

Selain bantuan perbaikan fasilitas umum dan pendidikan, Bakrie Group juga memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban bencana. Di Solo dan sekitarnya, Bakrie Group memberikan bantuan senilai Rp 180 juta, yang ang disebar di lima titik yang dinilai parah parah terkena banjir akibat luapan Bengawan Solo

Minggu, 06 Januari 2008

Kejakgung Harus Berani Memberangus Konglomerat Hitam

[My RM News Dotcom] - Kejaksaan Agung (Kejakgung) dinilai perlu mengaudit konglomerat pembeli aset-aset yang dijual oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), soalnya mereka memperoleh keuntungan besar dari penjualan harga murah alias obral yang dilakukan BPPN. Sehingga tidak terlalu mengejutkan jika hasil riset yang dilakukan Merrill Lynch dan Capgemini yang dilansir di Hong Kong belum lama ini menyebutkan bahwa jumlah orang kaya Indonesia meningkat pesat.

Berdasarkan riset tersebut, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah orang kaya tertinggi ketiga (16,0%) di kawasan Asia-Pasifik setelah India (20,5%) di tempat kedua dan Singapura di tempat pertama (21,2%). Bahkan, pertumbuhan orang kaya Indonesia hampir dua kali pertumbuhan global yang hanya 8,3% dan juga kawasan yang cuma 8,6%.

Keberadaan dan gerak-gerik bisnis orang kaya baru seperti inilah yang seharusnya dimonitor oleh Kejaksaan Agung. Jika perlu, mereka diwajibkan untuk mengembalikan sebagian kerugian negara dengan berbagi keuntungan dari laba saat ini yang diperoleh dari pencaplokan aset yang tidak sesuai prosedur atau hostile take over.

Perlu diketahui publik bahwa, tidak semua konglomerat yang mengambilalih aset BPPN menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance dan etika bisnis, ada juga konglomerat hitam yang hanya mengejar keuntungan semata-mata dan menghalalkan segala cara. Konglomerat hitam seperti inilah yang menjadi biang musuh rakyat dan harus kita perangi bersama.

Untuk mengetahui identifikasi konglomerat hitam tersebut, berikut ini adalah beberapa ciri-ciri yang cukup menonjol pada dirinya. Pertama, kongmerat hitam ini memiliki network kepada pusat kekuasaan negara dengan baik. Sehingga meskipun mengambilalih aset dengan murah, tapi soal membayar kewajiban kepada pihak lain, dia berani menabrak komitmen dan perjanjian tertulis yang sudah disepakati -- baik itu dengan pihak lokal, maupun internasional. Konglomerat ini sangat percaya diri bahwa dengan kedekatannya dengan pusat kekuasaan bisa membentengi kepentingan bisnisnya.

Kedua, konglomerat hitam ini memiliki track record yang sangat buruk soal perpajakan. Soalnya, baik secara personal maupun korporat pernah melakukan penggelapan pajak atau illegal tax, namun bisa diselesaikan secara kekeluargaan di luar pengadilan atau out of court settlement. Ketiga, pada umumnya konglomerat hitam tidak memiliki nasionalisme terhadap bangsa dan negara RI, sehingga meskipun merusak reputasi bisnis di tanah air atau pun mengobrak-abrik iklim investasi yang kondusif di dalam negeri, konglomerat hitam itu akan tidak peduli.

Nah, seharusnya Kejakgung lebih proaktif dan memberikan prioritas untuk memberangus konglomerat-konglomerat hitam seperti ini. Jika ini bisa dilakukan oleh pemerintahan Yudhoyono, mudah-mudahan recovery ekonomi akan lebih cepat pulih, seperti yang dicita-citakan rakyat Indonesia . Mari kita tunggu reaksi proaktif Kejaksaan Agung dalam waktu dekat ini.