Rabu, 27 Oktober 2004

Menteri Jangan Lindungi Konglomerat Hitam

[Tempo Interaktif] - Pengamat ekonomi Faisal Basri mengecam keras pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie soal pemberian surat keterangan lunas oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada pengutang kakap. Menurut Faisal, kebijakan itu berarti memberikan perlindungan kepada konglomerat hitam. Padahal, seharusnya pemerintah baru mengkaji ulang munculnya surat lunas tersebut. "Inilah susahnya pengusaha jadi menteri perekonomian. Menko terdahulu saja bisa netral, masak sekarang melindungi konglomerat hitam?" tanyanya kepada Tempo.

Usai rapat koordinasi menteri-menteri ekonomi, Selasa (26/10), Aburizal Bakrie menandaskan, pemerintahan baru tidak akan mencabut keputusan pemberian surat keterangan lunas oleh BPPN kepada para pengutang kakap. ?Kami tidak akan mencabut keputusan itu,? ujarnya. Menurut Ical, demikian ia biasa dipanggil, kebijakan pemberian surat lunas yang merupakan "tiket" untuk mendapatkan release and discharge (R & D) alias pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para konglomerat merupakan kebijakan pemerintahan lama.

Faisal melihat, pernyataan Ical sejalan dan merupakan kelanjutan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak akan mengganggu gugat konglomerat. Padahal, lanjutnya, pemerintah seharusnya mengkaji munculnya surat pernyataan bebas ini. "Ada semacam konspirasi. Lihat saja siapa Syafruddin Temenggung (mantan Ketua BPPN yang mengeluarkan R & D dan surat keterangan lunas,red)," katanya.

Secara terpisah, mantan Tim Bantuan Hukum BPPN, Luhut Pangaribuan, mempertanyakan kapasitas Aburizal mengeluarkan pernyataan itu. "Bukan kompetensi Aburizal Bakrie. Ini merupakan keputusan hukum," katanya.

Ia juga menegaskan, meski secara hukum perdata proses hukum konglomerat itu sudah selesai, para konglomerat yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyelesaian utang masih bisa dijerat oleh hukum pidana.

Sejauh ini, sebanyak 21 debitor telah mendapatkan surat lunas, di antaranya Salim, Sjamsul Nursalim, dan Mohammad "Bob" Hasan. Sementara itu, sebelas pengutang lainnya belum melunasi dan dikategorikan sebagai debitor tidak kooperatif. Mereka di antaranya, Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional Rp 8,3 triliun), Samadikun Hartono (Bank Modern Rp 2,663 triliun), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa Rp 1,1 triliun), dan Tarunojoyo serta David Nusa Widjaja (Bank Umum Servitia, Rp 3,336 triliun).

Tidak ada komentar: