Senin, 14 Januari 2008

Menanti Transparansi Ekstradisi

[Sumatera Ekspress] - Singapura selama ini menjadi surga para koruptor kita. Negeri yang hanya ’sepelemparan batu’ dari Batam itu menjadi daerah penampungan bagi orang-orang yang telah menjarah kekayaan negeri ini.

Sudah tak terhitung jumlah koruptor yang merampok uang rakyat menyeberang ke negeri tetangga itu. Mereka di sana hidup senang, menghabiskan uang milik negara yang dibawa lari. Konglomerat hitam yang diperkirakan berada di Singapura misalnya Sudjono Timan, terdakwa kasus korupsi BPUI US$ 126 juta. Juga Bambang Sutrisno yang mengemplang dana BLBI senilai Rp 1,9 triliun. Atau Maria Pauline Lumowa yang membobol BNI senilai Rp 1,3 triliun.

Kami yakin aparat dan intelijen Indonesia mengetahui banyak tentang kiprah mereka di Negeri Singa itu. Tapi, polisi Indonesia hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat banyak. Kita tak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara tersebut. Karena itu, andai pun mereka diperkarakan, tentu kita tak bisa membawa mereka ke tanah air.

Tak ada perjanjian ekstradisi itulah yang membuat mereka menikmati kebebasannya di Singapura. Dengan uang yang mereka bawa dari Indonesia, sebagian koruptor itu bahkan melakukan investasi. Agus Anwar, misalnya, buron BLBI senilai Rp 1,9 triliun, saat ini disebut berinvestasi di perusahaan pertambangan.

Menurut lembaga survei Merrill Lynch Capgemini, sepertiga orang superkaya di Singapura adalah orang Indonesia. Total dana orang Indonesia yang diparkir di sana mencapai Rp 783 triliun, melebihi APBN. Tentu dana yang diparkir itu sebagian milik para buron yang menjarah uang rakyat.

Karena itu, perjanjian ekstradisi RI-Singapura yang akan diteken pekan ini harus dilihat sebagai pintu, paling tidak celah untuk menangkap para koruptor. Perjanjian hukum tersebut harus kita sambut sebagai lembaran baru hubungan bilateral negara bertetangga ini. Hanya yang menjadi persoalan, perjanjian ekstradisi yang akan diteken besok itu belum disosialisasikan kepada publik. Artinya, belum melibatkan suara publik untuk menilai apakah perjanjian itu benar-benar menguntungkan Indonesia. Jangan-jangan Singapura bersedia meneken perjanjian tersebut dengan mendapat kompensasi di tempat lain yang lebih besar.

Kecurigaan seperti itu wajar-wajar saja, karena kepentingan Singapura begitu besar di Indonesia. Yang paling di depan mata, Singapura sangat membutuhkan pasir dan granit dari Indonesia. Yang juga harus diingat, karena menjadi persembunyian para konglomerat hitam itu, Singapura sangat diuntungkan. Triliunan rupiah mengalir ke sana. Tentu Singapura berhitung sangat matang bila bersedia melakukan perjanjian ekstradisi. Bahkan, sejumlah anggota DPR meminta pemerintah tidak buru-buru agar masalah itu dibahas lebih detail.
Nah, sekarang yang kita tuntut adalah pemerintah Indonesia harus bersikap transparan dengan memperlihatkan untung rugi dari ekstradisi itu. Jangan-jangan kita untung di sini, jebol di sana. Rakyat pun harus tahu tentang itu. (*)

Tidak ada komentar: